Aura Farming Tren Fashion Baru yang Nggak Cuma Soal Outfit
Opini : Aura Farming Tren Fashion Baru yang Nggak Cuma Soal Outfit
Oleh : Khanivah, Mahasiswa Megister Komunikasi STIKOM Interstudi
Kalau dulu kita kenal istilah cewek bumi dengan warna-warna natural dan gaya minimalis, sekarang dunia fashion lagi punya bintang baru bernama Aura Farming. Tren ini nggak sekadar soal baju yang kamu pakai, tapi tentang bagaimana seseorang memancarkan aura atau vibe lewat gesture, ekspresi, dan kehadirannya. Nggak heran tren ini cepat banget jadi pembicaraan di media sosial dan dunia fashion.
Tren ini mulai muncul di pertengahan 2024 dan semakin viral di awal 2025. Awalnya berkembang di platform seperti TikTok dan Pinterest, lalu pelan-pelan masuk ke Indonesia lewat komunitas fashion muda. Dari kafe-kafe estetik di Jakarta, kampus di Bandung, sampai event kreatif di Bali, tren ini cepat menyebar karena sifatnya yang cair dan gampang diadaptasi siapa saja. Nggak ada aturan baku tentang harus pakai baju model tertentu atau warna tertentu. Justru, setiap orang bisa punya gaya dan auranya sendiri.
Yang bikin tren ini menarik, Aura Farming bukan soal pakaian mahal atau merek terkenal, melainkan tentang bagaimana seseorang membangun persona melalui tampilan dan kehadiran. Gen Z dan milenial muda jadi kelompok yang paling cepat menangkap tren ini. Mereka memakai outfit, gesture, dan ekspresi wajah untuk membangun citra diri yang konsisten, terutama di media sosial. Aura yang dipancarkan itu jadi semacam “bahasa nonverbal” yang bisa langsung terbaca orang lain tanpa perlu kata-kata.
Aura Farming juga jadi jawaban atas kejenuhan tren fashion yang terlalu kaku atau template. Kalau dulu orang merasa harus ikut gaya tertentu supaya dianggap fashionable, sekarang justru kebalikannya. Orang mulai fokus pada apa yang ingin mereka pancarkan, bukan apa yang harus mereka kenakan. Itulah sebabnya tren ini terasa lebih inklusif dan membebaskan.
Secara teori komunikasi, fenomena ini bisa dilihat melalui konsep komunikasi nonverbal, di mana pakaian dan gaya menjadi bagian dari pesan yang dikirim individu kepada lingkungan sosialnya. Menurut Albert Mehrabian, sebagian besar makna dalam interaksi manusia justru disampaikan lewat elemen nonverbal seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan penampilan fisik. Aura Farming menguatkan teori ini karena setiap individu membangun narasi personal bukan lewat kata, tetapi lewat “aura” yang diproduksi dan ditangkap secara visual. Dalam konteks digital, aura ini bahkan menjadi identitas yang hidup di media sosial, membentuk persepsi publik tentang siapa diri kita.
Selain itu, teori komunikasi simbolik interaksionisme dari George Herbert Mead juga relevan. Teori ini menjelaskan bahwa makna terbentuk dari interaksi sosial melalui simbol dan fashion adalah simbol yang paling nyata dalam budaya visual sekarang. Melalui Aura Farming, seseorang tidak hanya mengenakan pakaian, tetapi juga membangun simbol diri yang diharapkan diterima oleh lingkungannya. Setiap warna, gaya, dan ekspresi menjadi cara bernegosiasi antara “aku yang ingin dilihat” dan “aku yang dipersepsikan orang lain.”
Cara menerapkannya juga sederhana. Tentukan dulu aura atau mood yang ingin kamu tunjukkan. Kalau ingin tampil dreamy, misalnya, pilih warna pastel dan gerakan lembut. Kalau ingin terlihat powerful, gunakan blazer dengan potongan tegas dan tatapan mata yang mantap. Outfit hanya jadi pelengkap dari cerita yang ingin kamu sampaikan lewat kehadiranmu.
Aura Farming menunjukkan bahwa fashion bukan cuma tentang pakaian, tapi tentang komunikasi dan ekspresi diri. Orang mungkin lupa detail bajumu, tapi mereka akan ingat bagaimana kamu membuat mereka merasa saat hadir di ruangan. Tren ini bukan sekadar gaya baru, tapi cara baru untuk berbicara tanpa suara. Dan mungkin, inilah mode paling jujur yang kita punya.
“Kalau fashion kini bukan lagi soal pakaian, tapi tentang aura yang kamu pancarkan, maka pertanyaannya, aura seperti apa yang ingin kamu tunjukkan ke dunia?”
